Beranda | Artikel
Hakikat Kalimat Tauhid [Bagian 8]
Minggu, 10 Februari 2013

Kedudukan Amalan Hati Dalam Timbangan Syari’at

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan islam. Oleh sebab itulah pokok ajaran islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85). Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa yang mencermati syari’at, pada sumber-sumber maupun ajaran-ajarannya. Dia akan mengetahui betapa erat kaitan antara amalan anggota badan dengan amalan hati. Bahwa amalan anggota badan tak akan bermanfaat tanpanya. Dan amalan hati lebih wajib daripada amalan anggota badan. Apakah yang membedakan antara mukmin dengan munafik kalau bukan karena amalan yang tertanam di dalam hati masing-masing di antara mereka berdua? Penghambaan/ibadah hati itu lebih agung daripada ibadah anggota badan, lebih banyak dan lebih kontinyu. Karena ibadah hati wajib di sepanjang waktu.”(lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14-15)

Ibnul Qayyim rahimahullah juga menegaskan, “Amalan-amalan hati itulah yang paling pokok, sedangkan amalan anggota badan adalah konsekuensi dan penyempurna atasnya. Sebagaimana niat itu menduduki peranan seperti halnya ruh, sedangkan amalan itu laksana tubuh. Itu artinya, jika ruh berpisah dari jasad, maka jasad itu akan mati. Oleh sebab itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik hati itu lebih penting daripada mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik anggota badan.”(lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 15)  

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, barangsiapa yang mengagungkan perintah-perintah Allah, sesungguhnya hal itu lahir dari ketakwaan di dalam hati.” (QS. al-Hajj: 32). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging maupun darahnya (kurban), akan tetapi yang akan sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kalian.” (QS. al-Hajj: 37).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ketakwaan yang hakiki adalah ketakwaan yang berakar dari dalam hati bukan semata-mata ketakwaan dengan anggota badan.” (lihat al-Fawa’id, hal. 136). Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata, “Hati ibarat seorang raja, sedangkan anggota badan adalah pasukannya. Apabila sang raja baik niscaya akan baik pasukannya. Akan tetapi jika sang raja busuk maka busuk pula pasukannya.”(lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14)

Orang yang bertakwa adalah orang yang menghiasi dirinya dengan aqidah sahihah dan amal salih; baik amal batin maupun amal lahiriyah. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Yaitu orang-orang yang beriman terhadap perkara gaib, mendirikan sholat, dan menyisihkan infak dari sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan orang-orang yang beriman terhadap apa yang diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang diwahyukan -kepada nabi-nabi- sebelummu. Dan terhadap akhirat mereka pun meyakininya.” (QS. Al-Baqarah: 3-4)

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa ciri utama orang yang bertakwa adalah mengimani perkara yang gaib. Hakikat iman itu sendiri adalah membenarkan secara pasti terhadap segala yang diberitakan oleh para rasul, yang di dalam pembenaran itu telah terkandung ketundukan anggota badan terhadap ajaran mereka. Memang, yang menjadi ukuran utama keimanan bukanlah keyakinan terhadap perkara yang terjangkau oleh indera. Sebab hal itu tidaklah membedakan antara orang yang muslim dengan yang kafir. Sesungguhnya yang menjadi karakter ketakwaan yang paling utama adalah iman terhadap perkara gaib; sesuatu yang tidak bisa kita lihat secara langsung dan tidak kita saksikan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 40 cet. Ar-Risalah)

Pokok Amal Ketaatan dan Ruh Ketauhidan

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Kecintaan merupakan pokok agama Islam yang menjadi poros segala ajaran agama. Dengan kesempurnaan cinta maka sempurnalah agama islam, dan dengan berkurangnya cinta maka berkuranglah tauhid seorang insan. Yang dimaksud dengan cinta di sini adalah kecintaaan penghambaan yang mengandung perendahan diri dan ketundukan serta ketaatan secara mutlak dan lebih mendahulukan sosok yang dicintai dari segala sesuatu selain-Nya. Kecintaan semacam ini murni untuk Allah, tidak boleh dipersekutukan dengan-Nya dalam hal ini sesuatu apapun.”(lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 84)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “…Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak madharat. Apabila dia melakukan sesuatu; maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakikat/intisari ibadah. Sebab seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta niscaya ibadahmu akan terasa hampa tak ada ruhnya sama sekali padanya…” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/3] cet. Maktabah al-‘Ilmu)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Pokok dan ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta untuk Allah semata, dan hal itu merupakan pokok penghambaan dan penyembahan kepada-Nya. Bahkan, itulah hakikat dari ibadah. Tauhid tidak akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga rasa cintanya kepada Allah mengalahkan rasa cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu atasnya, yang membuat segala perkara yang dicintainya harus tunduk dan mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan bisa menggapai kebahagiaan dan kemenangannya.” (lihat al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Kelezatan mengikuti rasa cinta. Ia akan menguat mengikuti menguatnya cinta dan melemah pula seiring dengan melemahnya cinta. Setiap kali keinginan terhadap al-mahbub (sosok yang dicintai) serta kerinduan kepadanya menguat maka semakin sempurna pula kelezatan yang akan dirasakan tatkala sampai kepada tujuannya tersebut. Sementara rasa cinta dan kerinduan itu sangat tergantung kepada ma’rifah/pengenalan dan ilmu tentang sosok yang dicintai. Setiap kali ilmu yang dimiliki tentangnya bertambah sempurna maka niscaya kecintaan kepadanya pun semakin sempurna. Apabila kenikmatan yang sempurna di akherat serta kelezatan yang sempurna berporos kepada ilmu dan kecintaan, maka itu artinya barangsiapa yang lebih dalam pengenalannya dalam beriman kepada Allah, nama-nama, sifat-sifat-Nya serta -betul-betul meyakini- agama-Nya niscaya kelezatan yang akan dia rasakan tatkala berjumpa, bercengkerama, memandang wajah-Nya dan mendengar ucapan-ucapan-Nya juga semakin sempurna. Adapun segala kelezatan, kenikmatan, kegembiraan, dan kesenangan -duniawi yang dirasakan oleh manusia- apabila dibandingkan dengan itu semua laksana setetes air di tengah-tengah samudera. Oleh sebab itu, bagaimana mungkin orang yang berakal lebih mengutamakan kelezatan yang amat sedikit dan sebentar bahkan tercampur dengan berbagai rasa sakit di atas kelezatan yang maha agung, terus-menerus dan abadi. Kesempurnaan  seorang hamba sangat tergantung pada dua buah kekuatan ini; kekuatan ilmu dan rasa cinta. Ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang Allah, sedangkan kecintaan yang paling tinggi adalah kecintaan kepada-Nya. Sementara itu kelezatan yang paling sempurna akan bisa digapai berbanding lurus dengan dua hal ini, Allahul musta’aan.” (lihat al-Fawa’id, hal. 52 cet. Dar al-‘Aqidah)

Syaikh Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya rasa cinta kepada sesuatu adalah cabang pengenalan terhadapnya. Manusia yang paling mengenal Allah adalah orang yang paling mencintai-Nya. Setiap orang yang mengenal Allah pasti akan mencintai-Nya. Tidak ada jalan untuk menggapai ma’rifat ini kecuali melalui pintu ilmu nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Tidak akan kokoh ma’rifat seorang hamba terhadap Allah kecuali dengan berupaya mengenali nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang disebutkan di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah…” (lihat Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa as-Shifat, hal. 16)

Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Pemuja dunia telah keluar dari dunia, sedangkan mereka belum merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Apakah hal itu wahai Abu Yahya?”. Beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 28 cet. Dar al-Imam Ahmad).

Yang dimaksud mengenal Allah di sini bukan sekedar wawasan, dimana orang yang taat dan durhaka sama-sama memilikinya. Namun, yang dimaksud adalah pengenalan yang diiringi dengan perasaan malu kepada Allah, cinta kepada-Nya, ketergantungan hati kepada-Nya, rindu berjumpa dengan-Nya, takut kepada-Nya, bertaubat dan meningkatkan ketaatan kepada-Nya, merasa tentram dengan-Nya, dan rela meninggalkan makhluk untuk mengabdi kepada-Nya (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 22)

Jalan Untuk Merealisasikan Tauhid

Cara mengagungkan Allah adalah dengan merealisasikan tauhid. Inilah hakikat ketakwaan yang membuat hamba menjadi mulia di sisiNya. SyaikhShalihbin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya cara mengagungkan Allah adalah dengan merealisasikan tauhid. Barangsiapa yang merealisasikan tauhid berarti dia telah mengagungkan-Nya. Dan barangsiapa yang menyia-nyiakan tauhid sesungguhnya dia telah menyia-nyiakan hak Allah, meskipun sujud telah membekas di dahinya, walaupun puasa telah meninggalkan bekas di kulit yang membungkus tulangnya. Maka itu semua tidak ada artinya…” (lihat Syarh Kasyfu asy-Syubuhat fi at-Tauhid, hal. 4)

Merealisasikan tauhid adalah dengan membersihkan diri dari tiga hal: syirik, bid’ah, dan maksiat. Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud merealisasikan tauhid adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari kotoran-kotoran syirik, bid’ah, dan terus menerus dalam perbuatan dosa. Barangsiapa yang melakukannya maka berarti dia telah merealisasikan tauhidnya…” (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 23).

Seorang yang hendak merealisasikan tauhid di dalam dirinya maka dia juga harus berlepas diri dari peribadatan kepada selain Allah (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 32). Sehingga tidak akan terkumpul pada diri seseorang antara keimanan dengan rasa cinta kepada musuh-musuh Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari kalian dan telah nyata antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selamanya sampai kalian mau beriman kepada Allah saja.” (QS. Al-Mumtahanah: 4)

Kunci utama untuk merealisasikan tauhid adalah keikhlasan dan berpegang teguh dengan tuntunan dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya merealisasikan tauhid itu adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari kotoran syirik besar maupun kecil serta kebid’ahan yang berupa ucapan yang mencerminkan keyakinan maupun yang berupa perbuatan/amalan dan mensucikan diri dari kemaksiatan. Hal itu akan tercapai dengan cara menyempurnakan keikhlasan kepada Allah dalam hal ucapan, perbuatan, maupun keinginan, kemudian membersihkan diri dari syirik akbar -yang menghilangkan pokok tauhid- serta membersihkan diri dari syirik kecil yang mencabut kesempurnaannya serta menyelamatkan diri dari bid’ah-bid’ah.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 20)

Merealisasikan tauhid memang bukan perkara yang mudah. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memaparkan bahwa merealisasikan laa ilaha illallah (baca: tauhid) adalah sesuatu yang sangat sulit. Oleh sebab itu sebagian salaf berkata, “Setiap maksiat merupakan bentuk lain dari kesyirikan”. Sebagian salaf juga mengatakan, ”Tidaklah aku berjuang menundukkan jiwaku untuk menggapai sesuatu yang lebih berat daripada ikhlas”. Tidak ada yang bisa memahami hal ini selain seorang mukmin. Adapun selain mukmin, tidak akan berjuang menundukkan jiwanya demi menggapai keikhlasan. Pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas, “Orang-orang Yahudi mengatakan: Kami tidak pernah diserang waswas dalam sholat”. Beliau menjawab, ”Apa yang perlu dilakukan oleh setan terhadap hati yang sudah hancur?”. Setan tidak perlu repot-repot meruntuhkan hati yang sudah hancur. Akan tetapi ia akan berjuang untuk meruntuhkan hati yang makmur. Oleh sebab itu, tatkala ada yang mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa terkadang seseorang -diantara para sahabat- mendapati di dalam hatinya sesuatu yang besar dan tidak sanggup untuk diucapkan -karena buruknya hal itu, pent-. Beliau berkata, ”Benarkah kalian merasakan hal itu?”. Mereka menjawab, “Benar”. Beliau berkata, ”Itulah kejelasan iman.” (HR. Muslim). Artinya itu adalah bukti keimanan kalian. Karena hal itu tidak bisa dirasakan kecuali oleh hati yang lurus dan bersih (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/38])

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa ada empat perkara yang selalu dibutuhkan oleh setiap insan: 1. Perkara yang dicintai dan dituntut keberadaannya, 2. Perkara yang dibenci dan dituntut ketiadaannya, 3. Sarana untuk bisa mendapatkan perkara yang dicintai dan diinginkan tersebut, 4. Sarana untuk menolak perkara yang dibenci tadi. Keempat perkara ini sangat mendesak diperlukan oleh setiap hamba, bahkan binatang sekalipun, sebab keberadaan mereka tidak akan sempurna dan menjadi baik kecuali dengan terpenuhinya itu semua (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 40).

Apabila hal itu telah jelas, maka patut untuk disadari bahwasanya Allah ta’ala merupakan Dzat yang paling layak untuk dicintai dan diharapkan. Sehingga seorang hamba akan senantiasa mencari keridhaan-Nya dan berusaha sekuat tenaga untuk terus mendekatkan diri kepada-Nya. Sementara hanya Allah jua lah yang mampu menolong dirinya untuk terwujudnya itu semua. Adapun, penghambaan dan ketergantungan hati kepada selain-Nya jelas merupakan perkara yang dibenci dan membahayakan diri seorang hamba. Sementara hanya Allah jua lah yang mampu menolong dirinya untuk menolak bahaya itu darinya. Ini artinya, pada diri Allah ta’ala terkumpul keempat perkara yang diperlukan oleh setiap manusia (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 40).

Oleh sebab itu kebaikan dan kebahagiaan hamba sangat bergantung pada perjuangannya dalam mewujudkan makna Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, “Hanya kepada-Mulah kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan”. Ayat ini menunjukkan bahwa Allah adalah Dzat yang paling dicari dan dikehendaki, sekaligus menunjukkan hanya Allah yang paling berhak dimintai pertolongan untuk meraih apa yang dikehendaki oleh hamba-Nya. Bagian pertama mengandung pokok tauhid uluhiyah, sedangkan bagian kedua mengandung pokok tauhid rububiyah (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 41)


Artikel asli: http://abumushlih.com/hakikat-kalimat-tauhid-bagian-8.html/